Bagi jagad perwayangan, lolos seleksi senapati Perang Baratayuda merupakan kebanggaan dan kehormatan. Presis politisi ditunjuk jadi menteri. Fasilitas seorang senapati dijamin dunia akhirat. Begitu diputuskan jadi, fasilitas rumah mewah, gaji gede dan mobil luks, segera mengikuti. Kalau pun mati dalam Baratayuda, langsung masuk swarga pangrantunan tanpa sekrening. Di sana fasilitasnya lebih hebat. Rumah tinggal pilih, bagus dan luks melebihi jatah mantan presiden. Koleksi bidadari mantan artis juga boleh, karena kerja bidadari di sana memang hanya mamah dan mlumah.
“Kangmas Puntadewa, saya ingin berjuang untuk memperoleh Wahyu Senopati. Mohon doa dan restunya,” begitu kata Harjuna dalam sidang di pasewakan Ngamarta.
“Nggak usah, Dimas. Elektabilitasmu sudah jeblog, karena kamu tukang kawin melulu.” Potong Werkudara sinis dan mendesis.
Larangan poligami bagi peserta seleksi Wahyu Senopati langsung di-blow up sejumlah koran dan portal berita internet termasuk medsos. Tapi meski penguasa Ngamarta sudah memberi sinyal seluas-luasnya pada generasi muda, para putra Pandawa masih pada malu-malu. Satu-satunya peminat baru Gatutkaca. Lainnya seperti Abimanyu, Antareja, Antasena, tak tertarik dengan alasan mau fokus menjadi anggota DPD.
Bagaimana dengan kubu Ngastina? Mereka ternyata juga prei! Yang aneh justru putra Prabu Betara Kresna bernama Setija, bergelar Prabu Boma Narakasura. Meski wahyu itu dialokasikan untuk Pandawa – Kurawa, dia yang tokoh di luar jalur malah berambisi. Dia beralasan, selama hanya menjadi raja Trajutrisna, sampai Lebaran kuda pun hanya akan jadi tokoh lokal yang takkan diperhitungkan.
“Kanjeng rama, saya mau ikut seleksi Wahyu Senopati. Mohon dukungan dan pengaruhnya.” Kata Prabu Boma Nrakasura saat sowan Prabu Kresna.
“Wahyu Senopati bukan urusan gula impor, jadi tak perlu adu pengaruh. Jika kamu ikut-ikutan, itu akan mempersulit posisi bapak. Kamu tahu kan? Bapak sudah kontrak politik sebagai Timses-nya Pandawa dalam Baratayuda.” jelas Prabu Kresna.
Bersambung ke Seri 2