Menyaksikan perilaku Ki Dhalang yang nyleneh itu, Ki Bancak mendekatinya perlahan-lahan.”Maaf, Ki, Seluruh wiyaga, waranggana dan wiraswara sudah pulang. Mengapa sampeyan masih duduk di depan kelir? Ki Dhalang harus pulang dan istirahat yang cukup, lakon berikutnya adalah Pendawa Boyong dan Jumenengan Prikesit sudah menunggu giliran.”
“Pulanglah dulu, cak! Aku masih ingin disini”.
“Tampaknya Ki Dhalang tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting. Apa yang tengah sampeyan pikirkan”?
“Tugasmu hanya melayaniku. Kumpulkan seluruh wayang yang telah gugur di Padang Kurusetra itu di halaman Gedung Serbaguna!”
Tanpa sepatah kata ki Bancak melaksanakan perintah Ki Dhalang. Memasukan wayang-wayang ke dalam kotak. Membawanya ke gedung Serbaguna.
“Tugas, telah aku laksanakan KI”.
“Ambilkan Aku bensin”
“Untuk apa”?
“Tugasmu hanya melayaniku”
“Baik Ki”, Ki Bancak meninggalkan halaman gedung Serbaguna. Beberapa saat kemudian, Ki Bancak telah kembali dengan membawa sejerigen bensin. “Tugas sudah aku laksanakan Ki”
“Letakan sejerigen bensin itu di samping Kotak”.
“Baik Ki’.
Ki Dhalang mendekati Kotak Kayu, mnegambil jerigen bensin dan menyiramkan bensin ke kotak. Menyentikkan sebatang korek api yang telah dinyalakan. Sontak Kotak Kayu terbakar. Asap membumbung pekat ke angkasa. Seluruh pegawai kalurahan keluar dari ruang kerjanya. Menyaksikan ulah Ki Dhalang yang semakin nyleneh.
Berita tentang ki Dhalang yang membakar wayang di halaman Gedung serbaguna Kelurahan Ngudi Budaya tersebar luas ke seluruh penjuru. Maka tidak heran, kalau malam pergelaran wayang lakon Pandhawa Boyong mampu menyedot lebih banyak penonton ketimbang lakon-lakon sebelumnya. Semenjak dimulainya pegelaran wayang oleh Ki Dhalang hingga adegan Aswatama yang memburu Banowati, seluruh mata penonton tertuju ke Kelir.
“Dasar Buaya!” Kontet mengumpat dengan lantang. “Siapakah Aswatama itu Krik? Perilakunya mirip jago wareng milik Kang Mitro tetanggaku.”Ia anak semata wayang Pendeta Durna yang lahir dari rahiim Wilutama. “Cakrik menghela napas panjang. “Bidadari yang pernah dikutuk Dewata menjadi Kuda Sembrani”.
“Lantas siapakah perempuan bunting yang diburu dan dikejar-kejar aswatama itu?”
‘Banowati”. Permaisuri Duryudana yang memiliki PIL Raden Arjuna. Ia lahir dari rahiim wanita setia kepada guru lakinya Dewi Setyawati ya Dewi Pujawati”.
“Lihat Krik, Banowati berhasil di gagahi Aswatama”. Cakrik meludah, Baginya Ki Dhalang telah melanggar pakem pakeliran. Tuntunan dan tatanan di dalam pertunjukan wayang yang seharusnya dijaga dengan sepenuh daya, justru diobrak-abrik demi kepuasan diri sendiri. Cakrik kembali meluncurkan ludahnya ke tanah.
Seluruh penonton cemas, manakala Aswatama dan KArtamarma yang telah melafalkan Aji Sirep Begananda itu berhasil melintasi penjaga gerbang Keraton Astina. Dimana keluarga besar Pandhawa telah berkumpul di dalamnya. Sesudah seharian lelah melakukan perjalanan jauh dari Negeri Amarta.
Di bangsal pengapit, Aswatama berhasil menghujamkan keris ligan ke dada Setyaki dan Udawa yang tengah tertidur pulas. Di taman Kaputren Aswatama menghabisi kisah hidup Subadra, Srikandi, Larasati, Utari, Drupadi dan Arimbi yang tengah menjaga jabang bayi Parikesit.
Sesudah semua istri Pandhawa lampus, Aswatama mengangkat Keris Ligan tinggi-tinggi, Dengan sekuat tenaga, keris itu dihujamkan ke dada Parikesit. Darah Putra Abimanyu yang diharapkan menjadi Raja di Negeri Astina itu menyembur. “Mampuslah kamu, anak Najis”!
Melihat adegan itu semua penonton Murka, mencaki maki Ki Dhalang. “Dhalang Edan, Dhalang Gemblung. Anjing! Babi! mOnyet! Ki Dhalang tidak menghiraukan caci maki dari seluruh penonton. Bahkan sensai yang Ki Dhalang lakukan semakin gila. Aswatama yang berhasil memasuki ruang peristirahatan keluarga Pandhawa itu berhasil menghunjamkan kerisnya ke dada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Sadewa, Nakula, Kresna, Jaya Sanga-Sanga, Danurwenda, Jaya Sumpena dan semua cucu-cu pandhwa lainnya.
Sontak murka penonton yang menyerupai amuk bah itu tak dapat terbendung lagi. Mereka melemparkan batu, bungkusan plastikair kencing, dan punting rokok berapi keatas panggung. Ki Dhalang tidak bergeming, meski seluruh wiyaga, wiraswara, sinden dan Ki Bancak telah meninggalkan panggung itu untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Tanpa menghiraukan lemparan benda-benda yang menghujani kepla dan punggungnya, Ki Dhalang mencabik-cabik tubuh aswatama dan Kertamarma yang berebut tahta Astina. Karena belum puass kayon yang melambangkan Kraton Astina itu di cacah-cacah nya dengan parang diatas papan kayu.
Dengan tubuh berdarah yang membasahi blangkon dan surjannya, Ki Dhalang berdiri di depan kelir. “Aku Benci perdamaian yang merupakan awal petaka. Aku merindukan kehidupan tanpa perdamaian dan sekaligus petaka. Aku merindukan dan mendambakan kematian sempurna, bukan akhir dari awal kehidupan.”
Melihat ulah Ki Dhalang yang tidak dapat dinalar, seluruh penonton berhenti melempar batu, bungkusan plastic berisi air kencing dan punting rokok berapi. Dalam diam, mereka pun tidak mengerti. Ketika menyaksikan KI Dhalang yang menghunus keris itu sontak menancapkannya ke ulu hati. Tubuh Ki Dhalang ambruk diantara dua Kotak. Tak terbangun lagi.
TANCEP KAYON