Kocap Kacarita. Semasa muda , jejaka tumaruna, Sang Bambang Dewabrata adalah pewaris syah tahta Hastina pura. Dia putra tunggal Prabu Sentanu Dewa, raja yang berkuasa saat itu. Sang prabu hidup menduda sejak Dewi Gangga kembali ke kahyangan setelah melahirkan Dewabrata (Bhisma Muda).
Pada acara berburu di hutan, Sentanu bertemu Dewi Durgandini alias Setyawati. Sentanu terpikat oleh kecantikannya, dan langsung meminang sang dewi. Durgandini bersedia jadi permaisuri dengan syarat kelak anak keturunannya jadi Raja Hastina.
Syarat ini amat berat bagi Sentanu. Sebab dia sudah punya putra Mahkota yakni sang Dewa brata (Bhisma). Terombang-ambing antara perasaan cinta kepada Durgandini dan Bhisma, sentanu jatuh sakit. Kondisi raja dari hari ke hari terus memburuk.
Bhisma memberanikan diri, bertanya apa apa gerangan yang dirasa sang ayah. Prabu Sentanu akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu , tanpa ragu Bhisma meminta kepada ayahnya untuk segera menikahi Durgandini. “Jangan tunda lagi menikahlah dengannya, Agar tidak menjadi masalah di kemudian hari saya bersumpah tidak menikah agat tidak memiliki keturunan. Aku rela asalkan ayahanda sehat kembali seperti sedia kala’ ujar si Bhisma.
Solusi dalam bentuk sumpah wadat Bhisma Dewabrata ini mengguncangkan kahyangan. Para Dewa tidak percaya ada manusia begitu luhur budinya. Tahta di depan mata dilepaskan demi bakti kepada orang tuanya. Lebih-lebih ia tidak hanya bicara. Ia pergi menjemput dewi durgandini di tepi Sungai Yamuna dan membawanya ke Hastina dengan kereta kencana.
Pengorbanan Bhisma tidak hanya sampai disitu. Dengan penuh kesabaran ia mengasuh, membimbing dan menjadi pendamping adik tirinya. Bhisma menyiapkannya kelak bisa menjadi raja yang bijaksana memimpin Hastinapura. Bahkan, ketika sang raja muda sudah waktunya menyunting permasuri, Bhisma pula yang sibuk mencarikan seorang putri untuknya.
RESOLUSI KONFLIK
Kebetulan saat itu raja Giantipura ya Negara Kasi mengadakan lomba “ sayembara pilih tandhing”. Barangsiapa bisa mengalahkan dua anak raja, Wahmuka dan Harimuka, ia berhak memboyong tiga putri raja yaitu dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Rambalika/Ambalika.
Dari sekian banyak pangeran dan raja yang bertarung, hanya Bhisma yang mampu mengalahkan wahmuka dan Harimuka. Bhisma menjadi the real winner. Dan berhak memboyong tiga putri raja tersebut.
Ambalika dan Ambika menjadi permaisuri raja Hastina adik tiri dari Bhisma. Sementara Dewi Amba menolak karena hatinya tertambat pada Bhisma. Bukankah Bhisma pemenang sayembara, sehingga dialah yang mestinya menyunting ketiganya?
Namun, isyarat cinta yang dikirimkan Amba ditolak dengan halus oleh Bhisma. Sebagai lelaki, hatinya juga merasakan getar asmara, tetapi sebagai ksatria, pantang baginya menlanggar sumpah wadat. Penolakan itu justru membuat Amba makin kagum dan tergila-gila kepada Bhisma, mulai dari isyarat tubuh hingga ungkapan blaka suta, to the point.
Sampai akhirnya, ketika Bhisma merasa sudah kehabisan cara untuk menolak, ia mencabut panah dan mengarahkan kepada Amba untuk menakut-nakuti supaya sang dewi tidak mencintainya. Tak disangka, noyah-nayuh baskara titi mangsa wus dadi kodrating jagad, panah yang semula hanya untuk menakut-nakuti, benar-benar terlepas dari busur dan menghujam tubuh Amba. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, dalam pelukan Bhisma ia berkata ‘ Wahai ksatria, aku tidak marah dan tidak membencinmu karena kematian murud kasedan jati ini. Aku sungguh mencintaimu. Memang kita tidak bersatu di dunia,lanjutnya, tetapi kelak kita akan bersatu di swarga loka. Ingatlah, engkau akan mati ditangan titisanku, seorang ksatria berujud wanita. Kelak ketika terjadi, aku akan menjemput jiwamu dan kita bersatu dalam keabadian kaswaragan jati.
Bhisma menangis, tetapi ia mengamini supata (kutukan) Dewi Amba itu. Para dewa pun menambahkan supata ini dalam suratan Bhisma. Maka pada hari ketika Srikhandi tampil ke medan Bharatayudha, Bhisma menyambutnya penuh gairah. Tak sabar ia menantikan panah perempuan ksatria itu menembus raganya.
Bhisma tersenyum menikmati satu demi satu anak-anak panah itu menghujam seantero tubuhnya. Baginya, itulah resolusi atas konflik batin yang sekian lama mendera dirinya. Inilah jalaran yang akan membawa dirinya bersatu dengan Amba.
Namun mengenai supata Dewi Amba bukanlah satu-satunya motivasi Bhisma untuk mati hari itu. Kematiannya memang tidak serta merta mengakhiri perang, tetapi menjadi resolusi konflik yang efektif untuk tegaknya kebenaran dan keadilan.
Dia (Bhisma) bisa saja memrintahkan wadya bala Kurawa untuk menghabisi Srikhandhi, tetapi ia tidak melakukan itu, karena ia menempa diri untuk selalu menjadi resolusi konflik, bukan bagian dari konflik itu sendiri.
Negeri kita Indonesia ini tidak henti-hentinya dilanda konflik elite. Gonjang-ganjing Bank Century belum lagi srina, kita sudah disuguhi perang bintang di mabes polsri. Ada pula gesekan antara petinggi BPK dan Kementrian Keuangan. Dengan dalih menjalankan tugas negara, semua merasa paling benar.
Konflik adalah bagian integral kehidupan. Manusia yang arif tidak akan lari dari konflik, karena yakin setiap konflik ada resolusinya. Iutlah keadilan Tuhan. Sebaliknya, manusia yang alpha akan menjadikan konflik sebagai ajang untuk kekuatan dan kekuasaan, sehingga yang ada hanya kalah dan menang. Runyamnya, seperti itulah wajah konflik elite kita. Saling intrik, saling sikut, saling menjatuhkan. Sampyuh, zerro sum game. Dengan wewayang (berkaca) kepada Bhisma, kita tahu jawabannya: bahwa para elite kita baru jago sebagai part of problem, bukan part of solution. Jika begitu ceritanya, Ki Dalang kan khawatir bangsa ini akan tertimpa supata, sehingga semakin tertinggal jauh dari bangsa lainnya di dunia.
Disadur dan dicuplik dari Edisi Minggu Bisnis Indonesia tgl 09 Mei 2010 ditulis oleh Ki Dalang Rohmad Hadiwijoyo ( Dalang & CEO RMI Group).